
DUMAI (CPC) – Surat Kementerian Keuangan Republik Indonesia baru-baru ini kembali menjadi perhatian publik. Surat bernomor S-28/KN/KN.4/2021 itu berisi instruksi agar kantor pertanahan di Riau dan khususnya di Dumai tidak menerbitkan sertifikat hak atas tanah eks konsesi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), karena tanah tersebut dianggap sebagai Barang Milik Negara (BMN) Hulu Migas .
Praktisi hukum dan Akademisi Eko Saputra,SH,.MH menilai langkah pemerintah ini memang punya dasar hukum yang kuat. Negara, kata Eko, wajib menjaga dan mengamankan aset-asetnya, termasuk tanah yang berasal dari kontrak kerja sama migas.
Namun, ia mengingatkan agar kebijakan itu tidak menutup mata pada asas kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak masyarakat.
“Negara memang harus melindungi BMN, tapi jangan sampai hak warga yang punya bukti kepemilikan lama justru terabaikan. Hukum bukan hanya soal kepastian, tapi juga soal keadilan,” ujar Eko.
Belum Lagi Potensi Masalah di Lapangan
Eko menyoroti fakta bahwa sebagian tanah yang kini diklaim sebagai BMN, sebenarnya telah dibebaskan sejak tahun 1950-an berdasarkan keputusan gubernur kala itu dan SHP Nomor 76 Tahun 1975 .
“Kalau ada warga yang memiliki bukti otentik, mereka seharusnya diberi ruang untuk menyelesaikan melalui mekanisme hukum, bukan langsung ditutup jalannya dengan larangan penerbitan sertifikat,” jelasnya.
Butuh Jalan Tengah Serta Penyelesaian
Menurut Eko, surat yang bersifat “sangat segera” ini seakan instruksi sepihak, tanpa memberi mekanisme keberatan atau verifikasi lapangan. Padahal, konflik tanah eks CPI sudah lama menjadi isu sensitif di Riau.
“Negara harus hadir dengan solusi yang adil. Bentuklah tim verifikasi independen, buka ruang keberatan, dan kalau perlu siapkan jalur hukum di PTUN yaitu Negara menggugat atau sebaliknya. Dengan begitu, kepentingan negara bisa tetap terjaga, tapi hak masyarakat juga tidak dipinggirkan,” sarannya.
Aset Negara vs Keadilan Sosial
Eko menegaskan, pengamanan aset negara tidak boleh bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. Baginya, hukum seharusnya menjadi penengah antara kepentingan negara dan masyarakat.
“Negara jangan hanya berdiri sebagai pemilik aset, tapi juga sebagai pengayom. Itu baru namanya hukum yang hidup di tengah masyarakat,” pungkasnya.
Disamping itu kita ketahui atas surat tersebut mengakibatkan beberapa ruas jalan protokol sudirman yang berada di kota Dumai tidak dapat dialihkan atau di naikkan status kepemilikannya, sehingga menimbulkan keberatan bagi sebagian masyarakat yang mempunyai alas hak atas tanah dan objek mereka.
Dan hingga saat ini belum ada kepastian yang pasti dan juga hari ini Selasa, 19/08/2025 beberapa perwakilan masyarakat menyambangi kantor DPRD Kota Dumai untuk mempertanyakan polemik ini semoga mendapat perlindungan bagi wakil-wakil mereka yang berada di legislatif untuk mendapatkan kepastian atas objek yang mereka miliki.